Skripsi : Satu (titik), Dua (Cinta)


Malam terasa panjang jikalau hanya dinikmati sendiri. Detakan jam dinding kos terdengar lebih keras dibandingkan sebelumnya. Anak-anak kos semuanya keluar untuk menikmati yang mereka sebut ‘malam minggu’ membuat kos ini sunyi secara berkala. Sedari tadi hanya merenungi perkatannya Ian sambil meratapi layar Microsoft Word.
‘Woii, Run! Kok skripsi lu belum selesai sih? Masa’ piala berjalan ngerjain skripsinya lama banget? Si Muna sama Mamat aja udah mau seminar hasil. Nah ente gimana?’
Asli ini adalah paling gak mengenakan setelah pertanyaan yang sering menanyakan ‘Eh, Kirun! Lu kok masih jomblo aja sih?’
Well, dipanggil piala berjalan bukan berarti semua hal harus berjalan dengan lancar. Gak tahu juga Ian bilang gue apa tadi, ‘Piala Berjalan’? Katanya kan gue sering ikut-ikutan lomba karya ilmiah gitu masa’ iya bikin beginian dua bulan belum kelar.
Hmm, agak beda memang skripsi dan karya ilmiah. Jelas, topik pembahasannya lebih berat skripsi dibandingkan karya ilmiah. Meskipun sama-sama ada penelitiannya, kalau karya ilmiah biasanya di titik beratkan pada ide atau gagasan kreatif kita. Dan mungkin ini yang bikin gue maunya sih agak sedikit berbeda dalam hal skripsi. Dalam benak yang ada dan setelah baca-baca skripsi kakak tingkat pokoknya harus bisa out of the box lah masalah topik skripsi.
Akhirnya gue nemu satu titik temu, kenapa gak lanjutin hasil lomba kemarin saja? Ya, ide tentang penggunaan metode Emisi Akustik terhadap kestabilan lereng di tambang?
FYI, ini hasil diskusi sama seorang Dosen yang bisa dibilang care banget sama kegiatan seperti ini. Bincang ngalor ngidul alhasil ketemu sebuah topik, yang akhirnya gue sendiri kembangin.
Pas dikaji ulang, ternyata kalau mau melakukan riset tentang Emisi Akustik ini harus ke di salah satu universitas di Bandung. Di Indonesia cuman mereka yang punya. Biar kalian gak bingung, pengujian emisi akustik ini bukan hal-hal yang berbau gitar loh ya. Jadi ini tentang pengujian pada batuan yang diberikan kuat tekan hingga di runtuh (pecah) nah sebelum runtuh ini ditempelin sensor jadi terdeteksi di komputer bentuk-bentuk retakan dalam batuan selama pengujian itu seperti apa.
Fix setelah akhir tahun pada Desember 2014 lalu, browsing baca-baca akhirnya gue mengajukan proposal yang topiknya seperti ini.  Tertolong juga setelah baca skripsi anak kampus sana, tapi bedanya gue ada analisis Efek Kaisser gitu. Ya, jadi pas batuan tadi udah bener-bener runtuh atau pecah pasti nantikan muncul grafik pada gaya atau beban sekian retakan paling banyak. Nah, ide sederhana ini yang gue ambil.
Pas mengajukan sebenarnya pak Dosen sudah nanyain, ‘kamu yakin mau ambil tentang ini? konsekuensinya harus kesana loh? nanti deh saya tanyakan lagi sama kepala Lab disana alatnya masih bisa atau tidak.
Akhirnya Januari hingga Maret gue lebih dalamin materinya. Selain itu karena masih ada tanggungan jadi ketua dalam organisasi dan kita selama tiga bulan lagi nyiapin berbagai agenda. Selama itu masih belum gue apa-apain tuh yang namanya skripsi.
Dan pada akhir maret setelah gue lengser dari sebuah organisasi, saat itu gue menghubungin kepala Lab di universitas yang ada di Bandung. Namanya Prof. Romi, dari nada bicaranya ia sangat welcome, tapi di hari berikutnya dia ngabarin kalau alatnya rusak. Hiks. Kalau mau menunggu lebih lama lagi untuk bisa betul.
Sekarang satu hal yang gue pelajari dari skripsi. Skripsi itu bukan penentu sebuah kesuksesan kita kelak setelah lulus. Dalam skripsi terdapatt satu titik kecil yang jarang kita sadarin. Titik itu yang harusnya kita jadikan pelajaran untuk jatuh bangun dan terus berusaha dalam menyelesaikannya. Titik yang menjadi pelajaran bahwa kita perlu satu titik yakni tujuan. Sama seperti sebuah masalah kan? Segalanya harus diselesaikan bukan didiamkan saja. Sama halnya seperti skripsi, kita harus menuntaskan tak boleh terlena.
Sempat iri sama temen gue yang anak Fisip, mereka ada yang tak perlu seperti anak Teknik yang melakukan pengujian ini itu. Cukup dari analisis.
Lagi-lagi sama seperti  sebuah masalah, setiap orang punya masalah yang berbeda. Terkadang kita iri dengan orang lain dengan masalah orang lain yang lebih kecil dan hal ini tidak benar. Dalam hidup kita sudah punya porsi masing-masing, toh mungkin juga anak Teknik akan mati kutu jikalau mengerjakan skripsi anak sosial yang banyak analisis deskriptifnya bukan? Begitu pula sebaliknya, sangat kasihan jikalau anak Ilmu Komunikasi tiba-tiba disuruh mendesain sebuah pit atau cekungan yang ada di tambang batubara?
Sekarang akhirnya gue paham, ndak boleh kecil hati jikalau ada teman yang penelitiannya sudah hampir selesai. Toh, harusnya dijadikan motivasi bukan?
Rombak atau ganti ulang judul itu memang awalnya sedikit memusingkan. Ya, kita harus membaca ulang dan mencari topik lagi. Tapi dari situ ada yang saya pelajari lagi. Saya jadi rajin membaca, haha. Apalagi buku yang berbahasa inggris, entah kenapa dulu kalau baca bawaanya ngantuk belum lagi ada istilah yang baru didenger. Beda kalau pas baca novel Harry Potter sama serial Twilight, atau bahkan bukunya John Green ‘The Fault in Our Star’ Wihh, itu mah laju.
Kembali ke topik, jadi skripsi itu bisa dibilang juga proses kehidupan. Skripsi hanya awalan bukan akhiran, masih ada tesis atau disertasi atau bahkan jurnal ilmiah yang harus dibuat. Itu kalau kamu masih ingin belajar hingga tingkat tinggi?
Dan yang tak boleh terlupa adalah dengan keberadaan dua orang yang pastinya kebaikannya tak boleh kita lupakan. Yap, mereka adalah dosen pembimbing. Mungkin kadang mereka menyebalkan bagi kalian. Tapi jangan salah, dibalik itu semua mereka peduli akan nasib kita.. (Cheers! Bapak atau Ibu Pembimbing) Dari mereka kita bisa banyak belajar, menggali ilmu yang mungkin tak kita dapatkan selama kuliah.
Tak berlebihan kan? Ibarat kata mereka adalah dua cinta dalam skripsi ini. Anggaplah mereka seperti orangtua yang mengantarkanmu pada kelulusan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat Orang yang Gagal Beasiswa

Samarinda-Surabaya-Magetan-Malang (SSMM)

A Little Crazy Thing Called ‘Dream’