Kopi Kenangan

Silauan matahari pagi lewat jendela kayu kos tua ini, membangunkan mata yang masih ingin dimanjakan untuk tetap terlelap. Maklum, dua mata ini baru dilelapkan oleh yang punya sejak sehabis subuh. Terhitung baru dua jam ia beristirahat dan pagi ini terpaksa sang pemilik mata ini harus menemui ‘seseorang’ yang begitu penting.

Ia bukan pejabat. Ia hanya seorang dosen, mungkin bagi tetangga dosen atau bahkan pak RT setempatnya tinggal Ia bukanlah siapa-siapa. Tapi bagi makhluk bernama Kirun, dosen tersebut amatlah berharga. Ya, paling tidak hanya sampai bimbingan hingga Ia akhirnya menyematkan toga untuk membanggakan orangtuanya.

Dosen yang membimbingnya kini dikenal sebagai ‘killer´! You know what I mean, kalau berdasarkan pengamatannya sering para kakak tingkat yang bimbingan dengan beliau (Pak Dosen) harus siap kena omelan karena skripsinya. Usut punya usut, sang Dosen pun akrab terhadap mahasiswa yang sekarang ia bimbing. Kirun hanya satu dari sekian ratus bimbingannya yang bisa akrab. Sebenarnya Bapak Dosen itu sangat baik, yang kena omel itu karena secara kronologis sudah sering diingatkan bagian yang salah tetap diulangi.

Bahkan pernah Dosen itu curhat, ada mahasiswi bimbingannya mungkin saking kesal dan secara tak sadar ada paragraf yang typo-nya kebangetan. Eh, tapi ini bukan typo deng! Soalnya dia ngetiknya begini. “Kampreet Pak DIbyo Revisi aja teruss!” Dan semua kalimat itu terketik saat ia merevisi dan secara gak sengaja terprint. Untung Pak Dibyo lapang dada. Ia hanya sensi sedikit sama cewek ini, ya paling agak disulitin dikit lah saat bimbingan. Haha.

Eits, kali ini kita bukan ngomongin Pak Dibyo atau bimbingannya yang lain. Apalagi ngomongin skripsi gue. Hellaww? Kalau yang terakhir agak sensitif nanti gue ceritain kenapa bisa seperti itu. Kali ini aku, ceileh aku. Gue yang punya nama Kirun pagi ini merasa ada yang perlu kuceritain sama kalian.

Layaknya pagi seperti biasanya, jadwal hari adalah konsul sama pak Dibyo. Gak boleh telat, biasanya dia ada di kantornya sejak 06.30 Wita, padahal jam kuliahnya masih 07.30. Beliau ini Profesor lulusan Jerman jadi rangnya tepat waktu banget. Kalau mau bimbingan  sama dia kadang harus antri dengan mahasiswa lain. Kalau lagi apes sudah terlanjur nunggu, dan tiba-tiba dia ada urusan mendadak kan berabe.

Makanya untuk memberikan suplemen pada mata, akhirnya gue menyeduh kopi. Saat mengaduk kopi teringat penulis Dee bilang dalam tulisannya kalau kopi itu punya filosofi masing-masing. Sejenak gue merenung dan mengamati kopi yang ada di gelas ini. Ya, kopi ini dapat dibeli dengan mudah di warung. Tak ada yang spesial seperti yang ada di café ternama. Namun saat menghirup kopi ini, aromanya membawa gue secara tiba-tiba menerobos lorong yang bernama ‘kenangan’.

Entah sejak kapan tepatnya, kopi jadi bagian yang sulit untuk dilepas. Dan sepertinya lebih sulit dibandingkan melepas mantan. >_<  Aroma kopi tadi membawaku pada ingatan tentang seseorang. Ayah.

Sepertinya kebiasannya untuk selalu menikmati secangkir kopi adalah bawaannya sejak lahir. Kata Ibu sih, pas dia hamil gue ngidamnya pasti minum kopi punya bokap. Dan ternyata kebiasaan itu gue baru tahu pas waktu kecil, sehingga namanya kopi di gelas tiba-tiba habis pas Ayah baca Koran pasti yang minum gue. Gak waktu kecil bahkan sampai SMA hal tesebut sering gue lakuin. Tak pernah beliau marah, paling menjewer kuping dan suruh buat ulang lagi punyanya.

Pagi ini akhirnya kopi yang tadi gue hirup akhirnya berhasil membawa pada ingatan yang lama udah terlupa. Belakangan karena kesibukan, gue jadi jarang hubungin beliau. Tegukan demi tegukan kopi ini lengkap menyebabkan gue kangen sama yang telah membesarkan gue.

Maklum sebagai mahasiswa perantauan yang jauh dari orangtua, kadang momen homesick adalah hal yang paling tidak mengenakan. Mungkin sebagai penenang di saat itu hanya bisa memandangi foto dari wajah mereka yang ada di atas lemari kos. Senyuman seorang Ayah itu lama tak terlihat hampir setahun. Ayah yang bagi gue lebih hebat dari Ayahnya Andrea Hirata yang ia sebut sebagai Ayah sang Nomor satu. Ya, karena bagi gue Ayah punya gue lah yang paling hebat. Karena secara gitu kan Ayahnya Andrea Hirata bukan Ayah gue. Pusing kan?

Yap, Ayah bisa dibilang paling dan paling, cuman dia yang bisa tahu kondisi anaknya yang sebatang kara di rantau ini yang lagi sakit bahkan tanpa anaknya nelpon untuk kabarin. Pernah waktu gue pulang kuliah lapangan, ceritanya mau turun dari bus dan gue pikir busnya sudah mau berhenti eh sekalinya pas kaki udah menginjak tanah dia malah tancap gas. Alhasil gue nyungsep depan jalan kos. Jangan ditanya orang-orang yang di dalam warung pada keluaran semua. Pada bingung gitu, suara ‘gedebug’ kirain karung beras jatuh dari mana, mereka hanya melihat dan habis itu masuk lagi ke warung. Akhirnya gue mencoba berdiri dan bangkit, untung gak apa-apa cuman ya memar dan tergores di tangan.

Karena kejadian siang dan hingga sore lanjut malam gue cuman tiduran. Pulang kuliah lapangan di hutan mempelajari kondisi geologi di sana selama 5 hari lumayan membuat letih, apalagi pakai adegan nyungsep. Dan yang paling kampretin itu supir busnya kayak gak tahu-tahu kalau ada yang jatuh. Hiks kasihan sekali nasib gue. 

Karena capek HP mati dan lupa untuk mencharger, akhirnya besok siang HP baru gue nyalain dan pas nyala HP ada hal yang menggelegar.

Ya, baru semenit nyala Ibu udah nelponin. Ngomel lebih tepatnya kenapa HP gak nyala. Yaelah tumben banget biasanya juga jarang nelpon. Katanya dia ‘kamu gak apa-apa kan Mas? Itu Ayah dari semalem nelpoin kamu gak nyambung-nyambung, dia kalang kabut gitu gara-gara mimpi tangan kamu patah habis jatuh. Kamu gak apa-apa kan, Nak?’

Kontan mata gue sembab, terharu sih. Habis itu gue nelpoin Ayah dan bilang habis jatuh, ya cuman jatuh dari bus lah. Akhirnya gue malah diomelin, katanya kalau ada apa-apa disuruh bilang. Entah feeling dia kuat banget. Gak sampai disini saja, sering kalau gue lagi sakit terkapar karena demam di kos tahu-tahu dia nanyain kabar. “Kamu gak lagi sakit kan, Yah?” Dan akhirnya ditelpon gue hanya nyengir kuda sambil bilang ‘Iya’.

Tak tahu dari mana ia bisa sedekat itu dengan anak-anaknya, bahkan gak cuman tahu kalau waktu gue sakit. Pas kadang sholat gue agak jarang dalam hal ini agak gak tepat waktu, dari seberang telpon sana dia nanyain. “Kamu sholatnya kok sekarang agak ngaret, Nak?’ Dan ditelpon gue hanya bilang, ‘Wow,, kok bisa tahu Yah?’

Itu hanya sedikit tentang dirinya yang membuat anaknya rindu. Ayahku bukanlah orang pintar semacam dukun atau pintar dengan titel sarjana. Ya, Ayah hanyalah seorang lulusan SD dari Sumatera sana. Pekerjaannya supir, sejak dulu hingga sekarang segala jenis supir pernah ia kerjakan. Mulai dari supir pribadi, angkot, bus, taksi, dll. Meski begitu satu hal selain kopi yang tak pernah ia tinggalkan adalah membaca Koran, hampir setiap hari ia membacanya. Kalau mau ditanya berita apa yang sedang hangat untuk didiskusikan sambil menghirup kopi di pagi hari ia akan tahu, mulai dari nasional hingga mancanegara.

Di seberang pulau sana, di tempat yang kusebut rumah mungkin ia sedang memikirkan anak-anaknya yang tengah pada merantau.

Sambil menutup pintu kos dan menuju kampus untuk bimbingan skripsi pada pak Dibyo, sontak hati ini bergumam. “Tunggu bentar Yah, bentar lagi anakmu lulus! Amiin”

Mungkin benar ada yang bilang setiap kopi punya filosopi tersendiri, tapi bagi gue kopi tak hanya punya filosofi tapi punya kenangan secara sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat Orang yang Gagal Beasiswa

Samarinda-Surabaya-Magetan-Malang (SSMM)

A Little Crazy Thing Called ‘Dream’