Manusia : ‘Sang Pemusnah’ Pora-Pora



Oleh : Muamar K. Panggabean
Ada yang berbeda dengan mentari pagi ini, tak seperti hari sebelumnya ia menampakkan dirinya dan menghangatkan Parapat yang masih diselimuti kabut tipis. Nampaknya cuaca mendukung perjalanan kami dalam peliputan tentang kehidupan nelayan yang berada di kecamatan Ajibata. Ada hal menarik dengan para nelayan tersebut, kini kehidupan mereka berbalik 180 derajat dibanding sebelum setahun belakangan. Penyebabnya adalah harta karun mereka yang biasa diambil perharinya layaknya menghilang lambat laun. Harta karun yang berasal dari Danau Toba itulah yang menjadi sumber pendapatan mereka sebelumnya. Ya, ikan pora-pora adalah kekayaan yang mereka punya yang dapat ditukarkan dengan uang guna menghidupi segala kebutuhan. 

Sebuah perjalanan untuk mendapatkan sepenggal cerita mereka kami mulai pada pukul 08.36 WIB dari tempat penginapan. Tak jauh untuk mencapai kecamatan Ajibata, sekitar 6 menit dengan menggunakan angkutan umum Anda sudah dapat melihat aktivitas mereka dari dekat. Ajibata merupakan salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan kota Parapat. Sepuluh tahun terakhir perkembangan Ajibata menjadi sebuah wilayah Kota baru cukup pesat. Selain dengan pemandangan Danau Toba, Ajibata memiliki “Bukit Senyum” yang semakin membuat daerah ini menggairahkan ketenangan saat melihat. 

Sesampai disana, di tepi Danau Toba yang mulai ditumbuhi dengan eceng gondok terdapat seorang Ibu yang sudah sibuk dengan pakaian kotornya yang akan dicuci. Sambil menunggu nelayan yang akan diwawancara dengan setumpuk pertanyaan penasaran dengan Ibu tersebut saya mencoba mendekat. Yang menjadi keheranan adalah di daerah seperti Ajibata mungkinkah air merupakan hal yang sulit didapatkan di permukiman sekitar? Sehingga masyarakat masih harus bersusah payah untuk mendapatkan air sampai-sampai mencuci pakaian pun dilakukan di tepi Danau tersebut.

Henny, (46) banyak memberikan cerita pengantar tentang peliputan yang akan kami lakukan nanti, yang tentunya memberikan banyak informasi sebelum menanyakan langsung kepada nelayan yang masih kami tunggu. Meskipun ia bukan seorang nelayan seperti warga lainnya, Henny banyak mengetahui kenapa ikan pora-pora mulai menghilang dari Danau yang telah terbentuk 70.000 tahun ini. Dimulai dari rumor adanya oknum yang menyemaikan ikan bawal sebagai predator yang menyebabkan ikan pora-pora semakin menipis jumlahnya, hingga kabar ikan bawal tersebut diracun agar tak mengganggu kelangsungan hidup ikan pora-pora. 

Dari tepi Danau Toba tempat Henny mencuci dengan mudah dilihat memang ikan bawal tersebut  banyak mati.

 


Foto : Ikan kaca-kaca atau bawal yang banyak mati di tepi Danau Toba

Ikan bawal  ini berukuran kecil, sangat jauh dari bayangan saya ketika mendengar sebutannya sebagai predator. Dengan nama lain ikan perca atau ikan kaca-kaca, spesies ini memiliki perbedaan yang signifikan dari ikan pora-pora yang juga berukuran kecil antara 4 – 8 cm. Dagingnya yang sedikit dan duri ditubuhnya yang keras menyebabkan nelayan tak meliriknya untuk ditangkap. Hal ini pun disebabkan karena untuk diolah sebagai makanan ikan jenis ini tak banyak diminati. Hal yang menarik dari pernyataan Henny ini, kalau memang ada oknum yang melakukan penyemaian untuk ikan jenis ini sehingga menyebabkan ikan pora-pora mengalami gangguan dalam ekosistemnya tentu sangat disayangkan.

KETIGA narasumber yang kami tunggu sedari tadi pun akhirnya datang.  Mereka lah yang akan memberikan kejelasan bagaimana kehidupan nelayan Ajibata dengan ikan pora-pora yang makin menghilang. Bertempat di pelataran Mess Pemda dengan keramahan yang tersirat dari wajah mereka menyebabkan membuat antusias kami semakin bertambah. Ini adalah kali pertama kami bertemu, Mereka adalah Mak Adel, Mak Siska, dan Ramlan



Dari kanan ke kiri : Mak Adel, Mak Siska dan Ramlan

Mak Adel, Ibu dengan 8 anak ini adalah salah satu nelayan yang merasakan sekali kehilangan ikan pora-pora yang dulu menjadi salah satu sandaran pendapatannya. Pemilik nama lengkap Donna Nenggolan (46) ini telah lama menggantungkan hidupnya dari Danau Toba. Barulah kesejahteraan hidup yang realtif singkat tersebut dimulai pada tahun 2003. Tahun tersebut merupakan awal meroketnya perekonomian para nelayan yang tak hanya di Ajibata namun tujuh kabupaten di sekitaran Danau Toba. Pasalnya di tahun 2003, budidaya ikan pora-pora mulai dikembangkan.

Tepat ditanggal 3 Januari 2003, ikan bilih yang memiliki nama latin (Mystacoleucus  padangensis) ditebarkan di daerah Parapat dan Ajibata di Danau Toba.  Ikan bilih ikan  endemic dalam geografis  yang terbatas sehingga di dunia hanya  ditemukan di danau Singkarak. Ikan bilih memiliki persamaan bentuk dan karakter dengan ikan pora-pora yang ada di danau Toba yaitu Pontius  binotatus. Mengingat ikan pora-pora asli tidak pernah tertangkap lagi sejak 1990-an, maka pengembangan budidaya ikan bilih dilakukan di luar dari habitatnya berpindah di Danau Toba. Hal ini mengingat karakteristik limnologis Danau  Toba  mirip  dengan  Danau  Singkarak,  habitat pemijahan  ikan  bilih  di  Danau  Toba  lebih  banyak atau luas  dari  Danau  Singkarak. Selain itu makanan  alami  sebagai  makanan  utama  ikan  bilih  cukup  tersedia  dan  belum seluruhnya dimanfaatkan oleh jenis ikan lain yang hidup di Danau Toba, dan daerah pelagis dan limnetik Danau Toba jauh lebih luas (sepuluh kali lipat dari luas Danau  Singkarak) mampu diisi oleh ikan bilih.

Introduksi  ikan  (fish  introduction/  transplantation)  adalah  upaya  memindahkan  atau  menebar  ikan  dari  suatu  perairan  ke  perairan  lain  dimana  jenis  ikan  yang  ditebarkan semula  tidak  terdapat di perairan  tersebut.  Dengan  demikian,  introduksi  ikan  bilih  berarti  memindahkan  ikan  bilih  dari  habitat  asli  di  danau  Singkarak ke habitat baru di Danau Toba.

Sehingga pada saat tersebut dengan mendatangkan ikan  bilih  dari Danau Singkarak yang  dibawa sebanyak 3400  ekor  dapat hidup  dan ditebarkan sebanyak 2840 ekor karena mati sepanjang perjalanan. Dengan disemaikan secara resmi oleh Presiden Megawati saat itu, maka masyarakat sekitar danau tersebut menyebut  ikan  bilih  sebagai  ikan  pora-pora.  Nama  pora-pora  yang  sebenarnya  adalah  ikan  bilih  terus  melekat  dan  populer  sampai  sekarang.

Saat ikan pora-pora yang dulu tumbuh dan berkembang begitu cepat kini telah sedikit jumlahnya, menyebabkan Mak Adel berpindah profesi. Dulunya ia yang telah lama menjadi nelayan sekarang hanya seorang petani yang mengurus ladang yang lama telah ia tinggalkan. Hanya suaminya saja yang masih bertahan mencari ikan pora-pora dengan ketergantungan nasib, biasanya ia akan menjual ikan tersebut bila mencapai 40 kg. Untuk mendapatkan seberat itu terkadang membutuhkan hingga berhari-hari. Berbeda jauh saat ikan tersebut dalam kondisi yang melimpah, untuk sekali menjaring bisa mencapai 50 kg lebih. “Sekarang ke ladang aja lah, mengurus kopi dan bawang” papar Mak Adel setelah ia memberi tahu lelaki yang berada di seberang jalan adalah suaminya.

Sama halnya dengan Mak Adel, perempuan yang suaminya telah berhenti bekerja 3 tahun belakangan ini harus tetap membuat dapurnya mengepul dengan menjadi buruh ladang. Mak Siska (45) pun memiliki 8 anak, bedanya anaknya ada yang sudah bekerja di RS Immanuel Bandung setelah menamatkan pendidikan di sebuah akademi kebidanan di Medan. Mak Siska dulunya mampu menyekolahkan anak-anaknya yang besar, namun dengan semakin berkurangnya ikan pora-pora maka menghasilkan pendapatan ibu paruh baya ini makin berkurang. Tak mudah menjadi seorang buruh ladang dengan upah Rp 75.000 perhari, belum lagi pekerjaan menjadi buruh ini hanya saat panen kopi, bawang, dll. 

Sebelum euforia ikan pora-pora yang menjadi idola masyarakat sekitar, Mak Siska adalah petani yang mengurus ladangnya sendiri. Ia sangat merasakan kesejahteraan saat ikan pora-pora menjadi tangkapannya setiap hari dan menghasilkan pendapatan yang begitu besar. Saat itu ladangnya tak sempat diurus karena alih profesi menjadi nelayan yang menggiurkan, kini meski ikan tersebut sudah tak mencukupi kebutuhannya karena keterbiasaan sebelumnya ladang pun tak diurus kembali.

“Ah, sudah malas lah” tuturnya. Lebih memilih mengurus ladang orang saat panen. Karena letak ladangnya yang cukup jauh dan tak begitu luas.

Sama-sama merasakan dampak perubahan pendapatan yang signifikan. Namun bedanya dengan Mak Adel dan Mak Siska yang merupakan nelayan, Ramlan merupakan seorang pengusaha dan penggagas hasil olahan dari ikan pora-pora yang dikenal dengan “Krispi Pora-Pora”. 

Berawal dari kepeduliannya saat bekerja di LSM Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Menyadari bahwa tahun 2005 harga jual ikan pora-pora Rp 1.000 perkilo oleh nelayan pada agen yang tergolong murah, maka ia bermaksud meningkatkan harga jual dengan mengolah terlebih dahulu.

Dengan kedekatan anggota LSM dan Pemprov Sumut, maka ide untuk menggagas olahan ikan pora-pora tersebut dilaksanakan pada tahun 2010. Ramlan menawarkan harga ikan pora-pora sebesar Rp 5.000 perkilo yang berbeda jauh dengan harga agen lain. Sehingga menyebabkan nelayan beralih menjualkan ikannya pada Ramlan. Dengan bantuan alat dan modal oleh pemerintah, maka awalnya Ramlan mendampingi nelayan yang diberdayakan dalam mengolah ikan pora-pora menjadi “Krispi Pora-Pora”.

Mak Siska salah satu partnernya dalam Krispi Pora-Pora, setelah pendampingan selama 4 tahun maka ia kemudian dilepas. Tak tanggung-tanggung, produk krispi ini selain meningkatkan nilai jual juga telah mencapai pemasaran tingkat international. Krispi Pora-Pora telah dipasarkan hingga China, Malaysia, dan Arab.

Sayangnya dengan berkurangnya bahan baku utama krispi ini di Danau Toba, maka berkurang pula Krispi Pora-Pora. Saat ini sejak tahun 2013 yang mana ikan pora-pora telah menurun populasinya, hanya Ramlan yang bertahan memproduksinya. Itu pun dengan poduksi yang amat minim. Mengingat untuk harga Krispi Pora-Pora yang menjadi mahal, maka ia pun beralih dengan memproduksi olahan ikan pora-pora setengah matang. 

“Sekarang wajah Ibu ini berkerut, kalau dulu berminyak” candanya. Membercandai Mak Siska dan Mak Adel saat ikan pora-pora  begitu mudah mereka dapat. 

Ketiga narasumber ini tak memungkiri bahwa ketersediaan ikan pora-pora  yang semakin sedikit merupakan hasil penangkapan secara besar. Bisa dibayangkan penangkapan ikan tersebut hingga ratusan ton perharinya di kabupaten sekitar Danau Toba. Dengan kurun waktu 2003 – 2013 meski pertumbuhan ikan tersebut yang cepat menyebabkan ketersedian pora-pora menyusut. 

Ramlan membawa kembali suasana kejayaan saat itu dengan membagikan cerita pada kami. Saat itu tak hanya nelayan yang merasakan pendapatan dari ikan pora-pora. Warung-warung penjual lontong dan makanan lain disepanjang pinggiran Danau Toba selalu ramai. Bahkan penjual jamu dan tukang bengkel pun mendapatkan peningkatan pendapatan secara tidak langsung. 

“Dulu anak-anak pun setelah pulang sekolah membersihkan sisik pora-pora, dan memencet perutnya untuk dibersihkan” tuturnya. Dengan upah Rp 1.000 perkilo maka untuk mendapatkan uang sekitaran sepuluh ribu tak sulit didapatkan anak-anak didaerah ini. Setelah mendapatkan upah, biasanya mereka gunakan untuk ke warnet.





Sepi bermain sendiri. Mungkin inilah gambaran anak nelayan ini setelah tak ada lagi kegiatan yang menghasilkan uang jajan untuk ke warnet.

PENYESALAN selalu datang dibelakang. Andaikan para nelayan ini mampu memutar kembali waktu dan menyadari bahwa ikan pora-pora tak akan banyak seperti dulu lagi. Bisa dibayangkan, dengan sekali tangkapan menggunakan pukat atau masyarakat sekitar menyebutnya sulangat kisaran 50 kg dapat diperoleh. Bahkan dengan tergiurnya hasil yang didapatkan, tak sedikit nelayan memiliki lebih dari satu bahkan ada yang sampai 12. Dapat dikalkulasikan jika banyaknya ikan pora-pora yang diambil di sekitaran Danau Toba ini. 

Mengenai siklus hidup Ikan pora-pora yang relatif cepat. Ikan ini melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina berruaya ke arah sungai  dengan kecepatan arus berkisar  antara  0,3-0,6  m/detik dan  kedalaman antara  10-20 cm.  Habitat  pemijahan  adalah  perairan  sungai  yang  jernih,  dengan  suhu  air  relatif  rendah, berkisar 24,0-26,0°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir.  Faktor  lingkungan  yang mempengaruhi pemijahan  ikan  bilih  adalah  arus  air  dan  substrat  dasar.  Ikan  pora-pora  menuju  ke  daerah  pemijahan  menggunakan  orientasi visual  dan  insting.  Sesampai  di  habitat  pemijahan,  betina  melepaskan  telur  dan bersamaan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang telah dibuahi  berwarna  transparan  dan  tenggelam  di  dasar  sungai  (di  kerikil  atau  pasir)  untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara 27,0-28,0°C dan larva  berkembang di danau menjadi dewasa.

Populasi  ikan  ini  memijah  setiap  hari  sepanjang  tahun,  mulai  dari  sore sampai dengan pagi hari. Puncak  pemijahan  ikan  bilih  terjadi pada pagi hari  mulai dari  jam  5.00  sampai  dengan  jam  9.00,  seperti  diperlihatkan  dengan  banyak  telur  yang dilepaskan. Pemijahan ikan bilih bersifat parsial, yakni telur yang telah matang  kelamin  tidak  dikeluarkan  sekaligus  tetapi  hanya  sebagian  saja  dalam  satu  kali periode pemijahan. Menurut dugaan menurunnya ikan pora-pora bila disangkut pautkan dengan ikan kaca-kaca adalah terganggunya siklus ikan pora-pora saat dalam telur. Ikan kaca-kaca inilah yang memakan telur-telur tersebut.

Terkait masalah adanya predator berupa ikan kaca-kaca atau masyarakat menyebutnya ikan bawal, Ramlan berpendapat bahwa sebenarnya ikan tersebut sudah ada. Namun karena populasi ikan pora-pora yang banyak diambil masyarakat, sedangkan ikan ini tidak diambil menyebabkan keberadaan predator yang banyak dengan jumlah mangsa yang sedikit. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem di Danau Toba.

Dari permasalahan adanya predator ini, berdasarkan instruksi Kementrian Perikanan dan Kelautan maka ikan kaca-kaca yang dulunya tak ditangkap kini perlu diupayakan pengolahannya. Sehingga keberadaan populasi ikan pora-pora dapat meningkat dengan dilakukan penekanan pertumbuhan ikan kaca-kaca ini. Dilain pihak, sebagai masyarakat Ajibata dan Sumatera Utara dirinya menilai keberpihakan dan dukungan pemerintah daerah masih minim dirasakan. Hal ini terlihat dengan jelas lambatnya meningkatkan ikan pora-pora yang dirancangkan pembatasan zona penangkapan didaerah pembibitan.

Setelah menemui secara langsung masyarakat yang mengalami kesulitan pasca menurunnya populasi ikan pora-pora, dengan tempat lain Lurah Ajibata kami undang untuk memberikan informasi secara terhormat.
Bapak Lurah bernama B. Doloksaribu ini menyampaikan beberapa informasi yang berbeda. Seperti klarifikasinya bahwa predator dari jenis ikan kaca-kaca ini memang sebelumnya tidak ada di Danau Toba. Hingga kini belum diketahui oknum yang sengaja menyemai ikan jenis ini. 

Dirinya mengakui bahwa pemerintah cenderung lamban dalam mengetahui dan mencegah permasalahan menurunnya ikan pora-pora. Karena baru tahun 2013 saat keadaan ikan ini sedikit pemerintah memberitahukan masyarakat untuk tidak melakukan eksploitasi secara besar-besaran.

Adanya masyarakat yang kehilangan atau alih profesi yang menyebabkan turunnya pendapatan disebabkan menurunnya populasi ikan pora-pora diperlukan tindakan dan solusi yang real. Menghilangnya harta karun Danau Toba ini mengingatkan kita dan mematahkan sebuah teori bahwa sumber daya alam yang dapat diperbaharui pun dapat habis dan hilang. Meskipun alam mampu memperbaharui namun campur tangan manusia terkadang menyebabkan hal tersebut tak mungkin dilakukan. Pertumbuhan ikan pora-pora yang cepat yang diimbangi dengan penjarahan besar-besaran tentu faktor utama bagaimana menghilangnya spesies ini. Tak salah jika kita menyalahkan diri sendiri sebagai predator yang menyebabkan Si Pora-Pora menghilang. Lebih bijak dengan tidak menyalahkan predator dari ikan kaca-kaca, maka kesadaran untuk memperoleh ikan pora-pora secara wajar perlu digiatkan dan diterapkan.

Salah satu tawaran solusi untuk permasalahan ini adalah mengingat pertumbuhan ikan pora-pora membutuhkan jangka 1 bulan, maka baiknya dilakukan selang waktu untuk menangkapnya. Semisal dalam jeda waktu sebulan tersebut, pemerintah dan kerja sama masyarakat melakukan penggiatan perkebunan. Selain untuk memberikan ikan pora-pora untuk berkembang juga sebagai salah satu preventif apabila sewaktu-waktu masyarakat harus menghadapi suatu perubahan profesi.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat Orang yang Gagal Beasiswa

Gugusan Cinta